Kamis, Maret 26, 2009

Ahmadiyah; Delegitimasi Islam ?

Jika engkau haus akan kedamaian jiwa dan kebahagiaan, percayalah !
Jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, carilah !
F.Nietzsche)


Bait pertama statemen tokoh tersohor di dunia filsafat pada abad ke-17 (F.Nietzsche) seolah menjadi acuan dasar dalam beragama yang kata kuncinya adalah percaya !, tetapi tentunya tidak hanya asal percaya dan ikut-ikut percaya tentunya.
Kasus perusakan tempat ibadah jemaat Ahmadiyah di Bogor beberapa waktu yang lalu membawa implikasi yang tidak kecil, terbukti dengan semaraknya respon dari para tokoh ataupun lembaga keislaman baik yang pro ataupun yang kontra dan berujung dengan dikeluarkannya fatwa MUI.
Fatwa MUI yang selama ini bagaikan surat sakti untuk penyelesaian permasalahan keagamaan seolah-olah tidak berdaya dengan kasus Ahmadiyah. Bahkan tarik ulur mengenai sesat tidaknya Ahmadiyah merembet kepada legitimasi dan eksistensi MUI dalam tata hokum Negara kesatuan Republik Indonesia.
Bila dicermati secara seksama, dalam tata hokum tata Negara Indonesia tidak pernah ada apa yang namanya fatwa MUI sebagai sumber hokum negeri ini. Fatwa MUI hanya dapat digunakan sebagai anjuran bagi umat islam. Setuju atau tidak umat islam terhadap fatwa MUI tergantung pada masing-masing individu. Begitu juga dengan fatwa MUI tentang jemaat Ahmadiyah, MUI hanya berfatwa dan umat islam diberi kebebasan untuk mengikuti fatwa tersebut atau tidak dan tidak ada sangsi hokum yang mengikat bagi mereka-mereka yang tidak menjalankan fatwa tersebut. Namun yang menjadi permasalahannya sekarang adalah imbas dari dikeluarkannya fatwa tersebut tidak hanya pertarungan ditingkat wacana namun sudah mengarah kepada tindakan anarkhisme yang meresahkan penganut paham ahmadiyah, apakah ini tidak menyalahi Unsang-undang negeri kita yang menjamin kebebasan pemeluk agam dan penganut kepercayaan untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang mereka anut ?

Demonology Islam
Sejarah umat islam tidak terlepas dari apa yang namanya pertentangan dan perbedaan pendapat. Namun selama ini umat islam begitu dewasa dalam menanggapi perbedaan pendapat. Tetapi yang menjadi perdebatan yang menguras banyak perhatian kita adalah siapakah yang berhak menjustifikasi tentang sesat atau tidaknya seseorang (lembaga), kafir tidaknya seseorang (lembaga), apakah keputusan mengenai hal-hal tersebut menjadi otoritas penguasa dalam pengambilan keputusan ? atau hal tersebut adalah hak prerogatif dari Allah SWT.
Permasalahan mengenai sesat atau kafirnya seseorang tidak hanya terjadi pada akhir-akhir ini saja. Dalam sejarah islam kita mengenal nama-nama seperti : Al-Hallaj, Sughrowardi, Syekh Siti Jenar, Ulil Abshor Abdalla, Yusman Roy dan lain sebagainya yang pernah mendapatkan vonis yang serupa.
Beberapa hal yang harus kita waspadai adalah dari mana kasus tersebut muncul ? adakah ada intervensi dari pihak-pihak lain yang tidak senang dengan eksistensi dan legitimasi serta progressing umat islam ?. perlu juga dicermati adalah bahwa tidak semua orang suka terhadap islam terutama bangsa barat yang begitu khawatir dengan kebangkitan umat islam.terlebih lagi bangsa Indonesia merupakan tempat mayoritas muslim dunia yang memiliki banyak potensi untuk mengembalikan kejayaan islam. Asep Syamsul M Romli menyebutkan dalam bukunya Demonology Islam, setidaknya ada lima strategi yang digunakan oleh bangsa barat untuk mendelegitimasi eksisitensi umat islam yaitu : Pertama, menciptakan kondisi ketergantunngan. Kedua, Devide At Impera antar umat islam. Ketiga, Pencegahan program nuklir di negara islam (iran). Keempat, peredaman dan pemberantasan gerakan-gerakan islam. Dan kelima, program Ghozwul Fikr (penyerbuan pemikiran).
Dari kelima hal diatas point kedua merupakan point yang pantas kita cermati bersama. Proses memecah belah ini terbukti sangat ampuh dan paling mudah dilakukan, terbukti dengan terjadinya perang Irak-Iran, perang Irak-Kuwait, peristiwa di Pakistan, Afganistan, dan lain sebagainya. Peristiwa-peristiwa tersebut jelas memakan banyak korban dari umat islam sendiri, dengan demikian umat islam melupakan hal lain yang lebih penting yaitu menguasaan ilmu pengetahuan dan science sebagai modal kebangkitan umat islam..
Begitu juga halnya dengan peristiwa Ahmadiyah, umat islam Indonesia dibiarkan saling menghujat dan bahkan saling merusak (berperang) antar umat islam. Bila hal ini dibiarkan terus menerus bukan tidak mungkin akan menjadi bibit perang antar umat islam sendiri. Hal ini sudah terbukti dengan saling hujat antara para tokoh yang pro dan kontra mengenai hal tersebut. Pro kontra ditingkat wacana bukan sesuatu hal yang tabu dan dilarang. Namun imbas dari pro-kontra tersebut ditanggapi secara emisional ditingkatan grass root.. mereka (grass root) sangat fanatik terhadap tokoh yang mereka idolakan dan bahkan rela berkorban harta dan nyawa demi membela tokoh yang mereka kagumi tersebut. Contoh kongkritnya adalah bersiapnya garda bangsa jawa timur untuk menyerbu salah satu ormas yang tokohnya dianggap telah melecehkan tokoh idola dari kawan-kawan garda bangsa. Contoh lain adalah penyerbuan terhadap basecamp jaringan islam liberal (JIL) yang berperan sebagai pihak yang menolak terhadap fatwa MUI olehh beberapa orang yang tak lain adalah saudara seiman dan seagama yakni islam.

Manuver Politik Pemerintahan SBY
Di sisi lain kita juga patut curiga kepada pemerintahan SBY-JK, ada kemungkinan pemerintahan SBY-JK melakukan politik Devide At Impera juga demi berjalannya program pemerintahannya. Hal ini bisa ditelusuri mulai dari pristiwa bom di Tentena beberapa waktu lalu yang tidak jelas siapa pelaku dan aktor intelektualnya, dan juga kasus Ahmadiyah akhir-akhir ini. Dengan adanya kedua kasus diatas, kita (rakyat Indonesia) dibiarkan bingung dan saling tuding saling mencurigai antara bangsa Indonesia sendiri, hal ini berakibat pada lupanya rakyat akan penderitaan yang mereka alami seperti kenaikan harga BBM, pemberantasan korupsi yang tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, mahalnya biaya pendidikan, pelayanan kesehatan gratis yang di gembar-gemborkan serta hal-hal lain yang sebenarnya hal tersebut sangat merugikan bagi masyarakat.

Nihilisme Beragama
Menurut Frederich Nietzche, nihilisme merupakan suatu keadaan dimana terjadi keruntuhan seluruh bidang kehidupan. Seluruh bidang ini dapat dibagi menjadi dua yaitu : keagamaan (termasuk moral dan ilmu pengetahuan). Bila kita matchingkan dengan kondisi saat ini gejala nihilisme memang mulai terbukti (seperti kata nietzche bahwa pendapatnya akan berlaku bagi dua abad setelah ia mengeluarkan statemennya). Kasus ahmadiyah jika memang tidak menemui solusi secepatnya maka akan mengalami persoalan yang lebih parah yang ujung-ujungnya akan berdampak pada eksistensi islam sendiri.

Delegitimasi Islam
Kasus ahmadiyah disisi lain merupakan muka bopeng umat islam. Bagaimana tidak permasalahan yang seharusnya menjadi bagian dari internal umat islam ini menggema begitu luas dan berimplikasi pada kehidupan umat beragama yang bernaung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini bila ditilik secara seksama sangat bertentangan dengan slogan yang digembar-gemborkan oleh umat islam yaitu : islam sebagai “Rahmatan Lil Alamiin” (rahmat bagi seru sekalian alam).
Satu hal yang sangat mengkhawatirkan dari peristiwa ahmadiyah ini adalah lunturnya kepercayaan manusia terhadap agamanya. Manusia menganggap bahwa agama sudah tidak memiliki cara-cara yang budiman dalam menyelesaikan permasalahan keagamaan, agama hanya dijadikan legitimasi sebagian orang demi kepentingan pribadi mereka dan tidak pernah membela umat manusia secara keseluruhan. Agama hanya dijadikan ajang Truth Claim dan Salvation Claim tanpa adanya contoh kongkrit dari para pemeluknya. Selanjutnya terserah kepada kita sebagai umat islam untuk menyikapi permasalahan ini apakah kita hendak ikut-ikutan mengklaim saudara kita sebagai kafir dan sesat serta ikut berpartisipasi dalam pengerusakan tempat ibadah dengan dalih jihad dan berimbas pada kesengsaraan pada orang lain, atau kita hendak ikut-ikutan menolak fatwa dan mengutuk tindakan pengerusakan yang juga dilakukan oleh saudara-saudara kita ? semua terserah anda mau gitu kek, mau gini kek terserah tapi ingat satu hal yang menjadi tujuan agama diturunkan kemuka bumi ini adalah untuk menciptakan masyarakat yang saling menghormati satu dengan yang lain, saling tolong menolong antara satu dengan yang lain, dan menciptakan kedamaian dimuka bumi ini.