Jumat, Maret 27, 2009

Menilik Makna Pendidikan Pembebasan dalam Realita Kekinian

Penindasan akan selalu ada dalam setiap sistem yang telah mapan dengan bentuk dan gaya yang berbeda-beda, oleh karenanya logika pembebasan dalam setiap ruang yang tertindas dapat di jadikan sebagai spirit yang harus dicarikan ekpresi format geraknya, yaitu sebuah sikap anti penindasan sebagai langkah menuju gerakan pembebasan pada domain realitas, dimana aksi penindasan berlangsung. oleh karenanya, membicarakan pembebasan haruslah berati membicarakan rencana tindak lanjut. Jika tidak demikian, idealisme tersebut hanya mungkin menjadi menara gading saja.

Pendidikan sebagai sebuah sistem pembelajaran akademis yang komplek di satu sisi tidak akan pernah luput dari keterpurukan, kujumudan dan kelalaian sebagai saudara kembar ketertindasan dan ketertinggalan. Ternyata kita mustilah memahami bagaimana ketertindasan terjadi, jika menyadari penindasan yang selalu hadir dalam realitas kita, maka sebuah keharusan untuk selalu menciptakan spirit perjuangan sebagai langkah menuju perubahan yaitu pembebasan. Kita percaya penindasan merupakan sebuah aksi yang menyalahi kode etik kemanusiaan yang hadir secara sadar sebagai dominasi ataupun secara tak sadar sebagai wujud hegemoni dengan memanfatkan cela dan sisi ruang dari setiap sistem yang telah mapan pada ruang sosial.

Penindasan haruslah juga dipahami sebagai sesuatu yang akan selalu terjadi tanpa mengenal domain dan medan manapun, disana penindasan hadir. Ia hadir sebagai suasana awal pada daur ulang perubahan di setiap level sistem masyarakat sebagai prasyarat terjadinya perubahan, pembebasan dalam kontek reformasi bahkan revolusi, karena pembebasan adalah antitesa dalam setiap penindasan sehingga muncul sintesa kredo sistem baru yang diidamkan.

Akhirnya latar belakang ini ingin menilik makna pendidikan menurut realitas krisis yang terjadi pada pendidikan dalam realita kekinian kita dan memahaminya sebagai sebuah penindasan untuk dicarikan solusi pembebasan dan pembaharuanya, yaitu sebuah kondisi ideal mengenai pendikan, utopiskah ? tidak!
Secara garis besar pendidikan sampai saat ini sebenarnya tidak perlu melihat atau mengkaitkan pendidikan dengan masalah-masalah social. Pendidikan mempunyai dunianya sendiri yang tentunya berbeda dengan dunia lain word social. Ketidak-sejajaran, ketimpangan dan segala bentuk ketidakadilan yang terdapat di masyrakat adalah bagian dari hukum kepastian, tentunya tidak salah ketika

Kynko mengatakan bahwa Yang dinamakan pasti / benar adalah ketidakpastian / ketidakbenaran itu sendiri. Manusia tidak dapat merencanakan perubahan, perubahan akan terjadi hanya dengan kehendak sang kuasa. Sebenarnya pendidikan hendaknya melihat realitas yang ada di masyarakat dan menghayatinya sebagai suatu kenyataan. Meski pada penjabaran diatas telah diyatakan bahwa pendidikan tidak mempunyai hubungan dengan itu. Namun demikian pendidikan harus disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.

Dalam sejarah peradaban, yang kaitannya dengan dunia pendidikan telah terbukti bahwa institusi pendidikan formal yang cenderung menindas anak didiknya memiliki peran besar dalam rangka melanggengkan dan menstransfer tradisi pada generasi baru. Pendidikan formal juga merupakan aset kedua dari format penindasan dalam merajut segala keilmuan pada segi pendisiplinan ilmu. Pertamanya adalah bagaimana kondisi obyektif dari pendidikan kita hari ini. Bolehkah kita mengasumsikan bahwa terjadinya krisis dalam sistem pendidikan, institusi pendidikan, materi pendidikan atau kurikulum, dan tradisi yang dibentuk dalam proses belajar mengajar. Karena telah terjadi ketimpangan krisis orientasi dan penindasan yang terjadi pada pendidikan saat ini.Karenanya, Pendidikan kini mengalami beberapa problematika, pertama : Orientasi dari pendidikan yang belum terarah dengan pasti.Orientasi disini mencakup pada beberapa aspek yang hendak disentuh oleh pendidikan itu sendiri, jika dalam pendapat umum dinyatakan bahwa pendidikan harus mampu menjadi dasar komoditi yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa (memberdayakan mansia), atau dalam batas spesifikasinya dijelaskan bahwa pendidikan sebagai prosesharus mampu mendewasakan peserta didik dalam hal mental, intelektual dan spiritualnya. Mengingat civitas akademika pendidikan mau tidak mau dipaksa untuk mengakui dikotomi keilmuan yang bersumber dari kesadaran akademis barat yang condong dengan sebuah penindasan. Sehingga muncul fenomena sekolah formal dan sekolah nonformal sebagai reaksi dari aksi dikotomi sekuler tersebut. Kedua: kejumudan dan sakralisasi yang dibentuk melalui gaya pendidikan tradisional memberi peluang kecil terhadap daya kritis berpikir bagi anak didik. Dalam problematika ini, peran serta akal hanya menitik beratkan pada pola hafalan (Verbalistic) dan ideologisasi (emosional tekstual), dan jarang sekali mempertemukan kepercayaan (tradisi-iman) dengan penelitian ( tradisi ilmiah obyektif) yang seringkali bertentangan bukan pada diskoveris.

Masalah ini kemudian memberikan problem baru yaitu pada fase selanjutnya dimana anak didik memiliki pola tersendiri dan lebih selektif dalam mengkonsumsi wacana ilmu serta akan selalu memilih, mana ilmu yang kapabel dalam menghadapi fenomena pendidikan saat ini dan mana ilmu yang sekular b) Tradisi pembelajaran yang terjadi pada institusi pendidikan masih seringkali diwarnai pola feodalisme (moralitas dominatif dengan metode ceramah) yang secara tak sadar telah membungkam nalar kritis peserta didik bahkan memasungnya sama sekali c) Pendidikan dalam realita kekinian justru terletak pada domain dikotomisasi dan ideologisasi berbasis emosi melalui praktik yang mengedepankan hafalan dari pada pemahaman dan pengembangan teori baru. Tradisi yang tanpa disadari mendikotomi pendidikan adalah persoalan baru yang berarti merupakan kecenderungan yang mendekati bid’ah.