Sabtu, Maret 28, 2009

Bersama Selamanya

Ketika tunas ini tumbuh
Sempat tumbuh dan mengakar
Setiap nafas yang berhembus adalah kata
Angan debur dan emosi
Bersatu dalam roda berputar
Tangan kita terikat
Hidup kita menyatu
Maka setiap kata yang terucap adalah
Sabda pandhita ratu
Jiwa ini pasir
Jiwa ini debu
Hanya angin yang meniup saja
Lalu terbang tak ada
Tetapi kita tetap menari
Menari hanya kita yang tahu
Jiwa ini tandus maka duduk saja
Maka akan kita bawa semua
Karena kita adalah satu
Sinar Pagi Menghantui Mimpi Indah Tidurku
Belum sudah lelap tidurku
Namun mentari telah menunggu
Alam raya nan cerah seakan tak mau kalah
Dengan alam khayal fana
Aku suka segar pagi kota
Aku suka riuk kendaraan jalan
Sangat bahagialah akan ramai khalayak
Tapi lebih tentram alam rimba
Kantuk tiba perlahan namun pasti
Tapi mata tak rela terpejam
Hati suntuk pikiran kalut
Bagai terhimpit berjuta kemelut
Hati siapa yang rela membiarkan diri terluka
Berjalan tanpa arah
Kemanakah langkah ini
Tujuan mana yang kau asa
Lampu pijar tetap menyala
Seiring kipas yang menderu dera
Akal, hati tak mau bersatu
Tuk gapai perasaan itu
Rindu dendam jadi satu
Sesak rasa hati pilu


Mmmboh… sumpek
Mungkin ini hanya cemburu
Karena kau masuh menunggu
Hadirnya sang ratu

Hm… mungkin hanya rasa iri
Pada teman sekaligus sahabat
Yang mudah untuk mengutarakan
Bahkan melaksanakan sesuatu
Yang itu menurutku sangat “Sakral”

Mm… mungkin hanya… (aku tak sanggup mengutarakan)
Atau hanya rasa canggung
Mungkin minder tepatnya
Melihat adik yang kuanggap
Melebihi adik sedarahku yang
Tak pernah sedetikpun terpikir
Bahwa ia adalah adikku
Atau aku merasa masih
Bersalah padanya sehingga
Rasa bersalahku harus kutebus
Dengan predikat tanggung jawab
Kakak kepada adiknya

Atau aku marah melihatnya
Begitu harumnya sehingga
Harum tersebut menjadi demikian busuknya
Atas perilaku seseorang

Atau hanya rasa traumaku
Yang selalu menghantui benak
Setiap melihat adegan “akrab” itu
Yang kerap disebut sebagai pacaran
CS (Cinta Sejati)
Atau bahkan karena rasa iba
Tak tega melihat sang korban
Disuap nasi dengan lauk yang sedemikian lezatnya
Hingga ia tak mampu membedakan antara
Makan nasi dan nikmat

Atau karena aku seorang Iblis
Yang tak rela melihat insan bahagia
Meski sebenarnya tersiksa
Terpaksa karena rasa

Sebenarnya aku tak tega
Melihat pelangi kemilau
Disinari oleh cahaya mega senja

Memang benar,
Mega sore begitu mempesona awalnya
Namun ia, ia adalah suatu pertanda
Sang raja kegelapan kan tiba
Kegelapan dunia alam fana

Memang benar
Sang pelangi hanya pancaran sinar
Dan apalah arti sang pelangi
Jika tertimpa malam

Diantara sekian banyak makhluk
Yang berkedudukan sebagai pecundang
Raja dari sekian banyak raja pecundang
Lebih cocok aku sandang
Jangankan aku berbicara mengutarakan
Bertatap matapun tak pernah kulakukan

Aku bodoh, aku goblok
Bahkan dibanding dengan seekor kecoa
Kecoa masih punya perasaan
Ia mampu menatap musuh dengan lantang
Meski akhirnya lari


Apakah aku harus diam
Tapi bukan batu
Sebab batu mampu mempertanggung jawabkan
Diamnya

Ah… aku tak mampu
Memang aku diam dalam bibir
Tapi hatiku tak mau pernah diam

Diam hanya pelarian
Diam adalah pelampiasan
Diam merupakan kontrak sosial
Diam adalah pertanda
Aku tak tahu meski apa

Tulis adalah sebuah bahasa
Bukan ungkapan
Ini (tulisan) adalah permulaan
Akhir dari persahabatan
Akhir dari persaudaraan
Akhir dari tanggung jawab
Akhir dari rasa bersalah
Akhir dari perhatian kakak
Akhir dari keusilanku atas objek
Akhir dari rasa perhatian adik
Akhir dari segalanya, atau mungkin
Akhir dari hidupnya manusia

Ahhh……..
Omong kosong cemburu
Munafik iri
Murtad atas persahabatan
Laknat… CINTA
Makan itu cinta
Jancok kabeh
Jancok atas nama cinta
Cinta atas nama Jancok

Intensif (berturut-turut) tapi pasti

Jancok-ku atas pacaran
Jancok-ku atas alam
Jancok-ku atas cinta

Yang membuat neraka atas nama cinta
Jancok-ku juga untuk “mereka”