Minggu, Maret 29, 2009

Selaksa Perempuan

Tatkala kebenaran tak mampu terjalin oleh manusia – manusia tak bermutu. Manusia- manusia yang lebih cenderung pada keadilan semu – sebatas ruang wacana. Kemaslahatan hanya tinggal angan yang semakin terbang menjauh. Keadilan, kebebasan berekspresi sebagai implementasi apresiasi anugerah Tuhan berwujud hak prerrogatif sebuah pemikiran dan perwujudan. Atas semua ketimpangan yang berlaku secara dinamis, masih adakah hak untuk menolak perubahan? Masih sanggupkah kita untuk hanya diam dalam keambrukan sebuah rezim?.

Adalah benar senyatanya ketika Nietczhe mengagungkan “ anti kemapanan” , seirama dengan pengikutnya, Soe Hok Gie “ cepat atau lambat, perubahan hanya soal waktu”. Sebuah Platform yang senantiasa hadir hanya ketika jiwa manusia- manusia pembaharu tenang dalam kepekaan dan keagungan. Namun ketika, tangan pemberani seorang pemimpin yang terhegemony oleh petuah – petuah sang setengah dewa - penguasa. Maka, keberanian justru menjadi sekat tebal bagi perubahan itu sendiri. Tangan – tangan yang telah dipilih dan dipercaya mampu mewujudkan segala aspirasi massa kelas bawah demi segala kebijakan yang berporos pada keadilan, ternyata telah memalingkan diri seutuhnya.

Kekuatan Gender

Perempuan adalah perempuan, punya kemampuan untuk melawan dengan kebijaksanaan. Punya kekuatan atas pengorbanan. Punya kesabaran untuk mewujudkan perubahan. Dan, punya ketekunan untuk mencapai impian sang anak- massa kelas bawah. Tak akan ada lagi, hukum hitam putih bahwa perempuan hanya mendominankan perasaan tanpa ketepatan rasio. Karena perempuan adalah perempuan, dalam tubuhnya yang indah terpendam seonggok keberanian yang kuat namun tetap dalam ketenangan. Karena perempuan adalah perempuan, dalam tubuhnya yang ranum, tertata kesabaran mendidik dan menyemai sebuah impian menjadi suatu kenyataan-atas nama keadilan.
Hidup bukankah harus dinamis, tepat dalam menentukan pilihan, bersinar dalam kemandirian dan kecermatan untuk memprediksikan. Sungguh tak ada perbedaan antara yang yang cantik dengan yang tampan, yang muda dengan yang tua, yang membedakan dimata Tuhan hanyalah kekuatan iman dan keteguhan perjuangan melawan ketidakadilan. Demi hal itulah, Tuhan menitipkan akal dan hati demi sebuah pencapaian perubahan berdasar pada keimanan dan kemaslahatan.

Teladan idealis
Layaknya Siti Aisyah, dalam sebuah Riwayat pernah memimpin sebuah perang. Senada dengan Siti Khodijah yang punya keagresivitasan untuk menjatuhkan pilihan atas nama Muhammad – Nabi Muhammad SAW. Sebuah sejarah yang tak akan pernah terbantah bahwa perempuan juga punya kebebasan untuk proaktif bahkan menjadi pelopor dalam menumbuhkan semangat berjuang dan berdakwah bagi sesama.
Maka, masih adakah alasan untuk mendiskreditkan perempuan pada jurang kelemahan dan ketidakberdayaan melawan kebobrokan sistem dan hegemony kaum penguasa. Masih adakah yang meragukan perempuan selayak Siti Aisyah dengan jiwa dan semangat kepemimpinannya. Masih tak mampukah jiwa patriot kita memilah antara orang yang memimpin lantaran ingin jadi Pemimpin? Atau orang yang memimpin lantaran memang dia punya jiwa dan semangat seorang Pemimpin?. Kami yakin, anda tahu jawabannya.