Jumat, Maret 27, 2009

Mempertanyakan Penerapan SKS di SMA

KETIKA penerapan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) belum menuai hasil maksimal, saat ini kita sudah digemparkan oleh rencana penerapan sistem SKS (Satuan Kredit Semester) untuk SMA. Penerapan sistem baru tersebut rencananya akan diterapkan di banyak sekolah, terutama di wilayah DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Barat pada tahun ajaran 2005/2006 nanti.

Saat penerapan KBK ditawarkan pada jenjang pendidikan SD – SMA beberapa saat yang lalu, pemerintah mengandaikan proses dan produk pendidikan kita akan lebih maksimal menjawab masalah mutu pendidikan. Nyatanya, hingga saat ini masih banyak guru merasa kebingungan atas ketidakjelasan program KBK 2004 ini. Padahal anggaran untuk program yang satu ini tidak sedikit, tapi hasil yang didapat belum tampak.

Dalam catatan Kompas (13/12/2004), di Indonesia setidaknya sudah ada 17 SMU yang telah melaksanakan SKS di sekolahnya. Di antara ke-17 sekolah itu adalah SMU 1 Gerug, SMU 1 Narmada (Lombok Barat), SMU 4, SMU 5 (Kota Mataram), SMU 1 Jonggat (Lombok Tengah), SMU 1 Pringgabaya, SMU 1 Terara (Lombok Timur), SMU 1, SMU 2 Sumbawa Besar (Sumbawa), SMU 1 Dompu, SMU 1 Kempo (Donyu) serta SMU 1 dan SMU 2 Bima (Bima).

Menurut Mendiknas, hasil ujicoba penerapan sistem kredit SMA di wilayah Nusa Tenggara Barat hasilnya cukup bagus. Namun apapun hasilnya, Indonesia adalah negara yang multi, jadi keberhasilan penerapan suatu sistem di satu daerah tidak bisa digeneralisir akan menuai hasil serupa di lokal yang berbeda.

Entah, dengan pertimbangan rasional seperti apa hingga Mendiknas punya ancangan seperti itu? Alih-alih demi meningkatkan mutu pendidikan nasional, mempercepat kelulusan siswa yang pintar, meningkatkan mutu lulusan, dan memudahkan siswa untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dunia pekerjaan yang diminatinya, menteri yang berbasic studi Ilmu Ekonomi ini mencoba tawarkan sesuatu yang sama sekali belum pernah ada dalam sejarah sistem pendidikan kita.

Padahal, SKS, dalam praktiknya di Perguruan Tinggi, toh tak lepas dari masalah. Buktinya, hingga saat ini kualitas lulusan PT (Perguruan Tinggi) masih banyak diragukan. Imbasnya, daya saing yang harusnya bisa dicapai tidak terwujud. Sebabnya bisa beragam: mulai dari ketakutan PT itu sendiri (ketakutan kampusnya tidak laku karena mahalnya nilai yang diberikan), hingga kong-kalikong urusan nilai yang dilakukan Dosen dengan mahasiswanya.

Jika yang ditiru adalah Malaysia atau negara-negara yang basik ekonomi, sosial-politiknya sudah mapan, maka usaha penerapan sistem SKS jelas-jelas tidak masuk akal. Negara kita, yang APBN-nya masih menyisahkan 60 % anggarannya buat membayar utang luar negeri, dipastikan akan kelabakan dibuatnya.

Di Malaysia, lembaga pendidikan diberi kebebasan menentukan kurikulumnya sendiri. Dan setiap tahun diadakan ujian standarisasi nasional dalam menentukan kelulusan. Tidak hanya persoalan efektifitas, kejelasan orientasi studi, serta standarisasi mutu pendidikan, ketika rencana itu akan jadi kebijakan resmi. Lebih dari itu, yakni mempertanyakan kesiapan lembaga pendidikan dalam penyediaan SDM profesional, sokongan dana yang tidak sedikit, dan yang terpenting lagi adalah ketidak-jelasan nasib anak didik kita. Apakah mereka seterusnya akan menjalani kebijakan pendidikan baru tiap ganti Menteri?

Dalam salah satu tujuannya, penerapan sistem SKS ini adalah untuk mempercepat proses studi siswa yang relatif lebih cerdas. Padahal untuk sekadar memfasilitasi kelebihan beberapa siswa yang cerdas tidak harus menggunakan sistem tersebut. Caranya, sebagaimana model yang ada saat ini, yakni dengan kelas akselerasi. Dengan model ini, sekolah-sekolah yang ingin mempercepat proses studi peserta didiknya cukup mengadakan kelas unggulan yang bisa ditempuh dalam jangka waktu dua tahun.

Perbedaan model akselerasi dengan sistem SKS, sebagaimana yang selama ini diterapkan di Perguruan Tinggi adalah, mereka tidak perlu menunggu setengah tahun untuk masuk ke Perguruan Tinggi, seandainya ada siswa yang telah menyelesaikan beban SKS-nya pada semester ganjil. Jika sistem baru ini diterapkan, maka mereka harus vakum selama setengah tahun jika lulus pada semester ganjil. Karena tidak ada kampus yang memulai tahun ajarannya di bulan maret.

Pertimbangan efektifitas pun ternyata tidak lepas dari cela. Bagi siswa yang cerdas, bisa menempuh jenjang pendidikan setingkat SMP atau SMA kurang dari tiga tahun, namun bagi siswa yang otaknya pas-pasan akan butuh waktu lebih dari itu. Padahal siswa yang berotak di atas rata-rata jumlahnya sangat minim. Dalam kondisi seperti itu, maka orang tua siswa harus merogoh kocek lebih untuk membiayai anak-anak mereka yang tingkat kecerdasannya tidak memungkinkan ia lulus tiga tahun atau lebih cepat.
Tak kalah urgennya, pemerintah dalam kasus ini harus juga mempertimbangkan dana yang akan dihabiskan untuk penerapan sistem baru tersebut. Karena sekali lagi, negara ini masih sakit, maka jangan menambah beban yang belum waktunya dipikul.