Jumat, Maret 27, 2009

Historisitas Sekolah

Tahukah kamu apa arti sekolah? mengapa sekolah itu ada dan apa manfa’at sekolah?. Sedikit mengulas tentang historisitas terlahirnya sekolah, tahukah anda bahwa kata sekolah itu diambil dari bahasa Yunani Schole, scola, secolae atau schola ( latin ) yang bermakna “waktu luang” atau “waktu senggang”(di kutib dari Sekolah itu candu, ’98, Room Tohpatimasan). Dimana pada zaman dahulu (orang yunani) sering mengisi waktu yang kosong dengan berkunjung ke tempat seseorang yang di yakini pandai, untuk mengisi ketidaktahuan / kekosongan otak. kebiasaan tersebut biasanya sering di lakukan oleh kaum lelaki dewasa, atau sang ayah dalam tatanan keluarga batih masyarakat Yunani kuno, Pada masa itu tidak ada pelabelan guru yang resmi, semua orang yang dapat menambah pengetahuan mereka, secara otomatis dianggap sebagai guru mereka, bahkan tidak ada penentuan tempatuntuk sekolah, dimana dia merasa nyaman di situ di lakukan, bahkan di dalam gerbong kereta api, dibawah pohon yang rindang pun mereka bisa melakukannya, tanpa harus ada fasilitas yang memadai.

Kebiasaan tersebut lama kelamaan di berlakukan untuk anak lelaki mereka, kemudian merambah pada anak perempuan, meski demikian, tetap lebih di prioritaskan untuk laki-laki, sebab di asumsikan bahwa anak laki-laki nantinya akan dapat meneruskan perjuangan atau pengganti sang ayah. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh kepala keluarga batih lamban laun kebiasaan sekolah menjadi suatu gejala yang menjurus pada budaya. Dari sini, kemudian sekolah berkembang menjadi suatu kelembagaan, namun belum ada perbedaan kelas. Serta masih belum ada kurikulum didalamnya. Tapi didalamnya terdapat pengasuh yang biasa memberikan ilmu pengetahuan, hingga sampai sekarang yang biasa di sebut-sebut Almamater( ibu asuh) karena memang yang mengasuh wanita.

Dari suatu gejala yang membudaya dan di anggap sebagian besar masyarakat yunani sebagai kebiasaan, maka semakin banyak anak yang di titipkan pada pengasuh yang pada saat itu sudah menjadi kelembagaan, karena anak asuhpun lebih banyak maka diperlukan juga tenaga pengasuh yang lebih banyak, tentunya dengan waktu yang telah di atur dan tempat yang telah di sediakan. serta peraturanpun sudah terformat sedemikian rupa, dan para orang tua walipun memberikan upah pada pengasuh, sebagai ganti dari jasa yang telah di berikan untuk mengasuh anak mereka. Dengan terciptanya suatu metodis itupun di kuatkan oleh Jhon Amos Comenius, memberikan alasan latar belakang tiap person yang berbeda, sehingga Comenius membenarkan adanya metodis untuk terciptanya proses yang stabil. Setelah Comenius, dilanjutkan Johann Heinrich Pestalozzi kalahiran Swiss, tepatnya pada abad 18 dengan gagasan yang lebih rijit dari pada Cominius. Heinrich ini memberikan metode pengaturan kelompok anak asuh secara berjenjang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan (kurikulum) yang harus mereka lalui secara bertahap, bahkan ada batasan-batasan khas yang baku, biasa di sebut dengan “ Sistem Klasikal Pesta Lozzi” ini yang menjadi cikal bakal adanya kelas yang biasa kita kenal sekarag.

Skhole dari yunani itupun menjadi suatu tradisi yang mendunia dengan berbagai bentuk dan fariasi yang beragam di berbaqgai tempat. Orang Yunani bukan yang pertamakali memiliki budaya sekolah, bahkan sebelum Socrates dan muridnya, Plato, telah menyelenggarakan academia atau lyceum di Athena. Perlu di ketahui sebelum Socrates dan plato orang cina sudah mengenal apa itu sekolah. Sedangkan sistem sekolah yang sekarang kita terima ini hanyaah suatu imbas politi etis (Politik Balas Budi) yang di ciptakan oleh colonial belanda untuk mempermudah langkah mereka untuk menguasai negeri kita. Namun sekarang yang menjadi pertanyaan bagi sahabat dan sahabati sadarkah kalian bahwa selama ini kalian telah ter hegemoni oleh kekuatan dan hegemoni budaya colonial Belanda namun ini yang menjadi tugas besar bagi sahabat dan sahabati untuk lebih bijak dalam menginterpretasikan SEKOLAH.


NILAI BUKAN MENJADI TOLOK UKUR KEPANDAIAN
Sekolah merupakan sarana formal yang di percaya untuk mendidik dan mengembangkan bakat dari setiap makhluq yang bernama manusia. Tak pelak sekonyong-bapak-ibu orang tua mereka memuncratkan segala hasrat dengan tergelantung beribu harapan, ruang sekolah diimani sebagai mediator yang paling representatif untuk memahat dan memoles sang manusia. Siapapun tak dapat memejamkan mata, bahwa sederetan institusi sekolah menerapkan kegiatan belajar yang bernilai itu dapat di katakanan berhasil dengan di tentukan oleh banyaknya kehadiran di sekolah, ahirnya-nilai dapat di ukur dan di dokumentasikan dalam bentuk rapor, sertifikat dan ijazah atau yang lainya. Sehingga banyak sekali pelajar yang mengasumsikan bahwa nilai merupakan identitas penentuan keberhasilan mereka. “Dapat di katakanan bahwa nilai adalah sebuah mitos yang di lembagakan”. Menurut Ivan Illich suatu sistem pendidikan harus mempunyai tiga tujuan. Pertama, ia harus menyediakan peluang bagi semua orang yang ingin belajar sehingga dapat menggunakan sumber daya yang ada dalam kehidupan mereka. Kedua, ia harus mengizinkan semua orang yang ingin membagikan pengetahuan yang mereka ketahui. Ketiga, sistem pendidikan ini memberi peluang kapada semua orang yang ingin menyampaikan suatu masalah ketengah masyarakat untuk membuat keberatan mereka di ketahui secara umum. Dengan penerapan sitem-sistem tersebut di harapkan ada tataran hukum yang menaungi manusia yang belajar sehingga terwujudlah sistem pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan manusia, tidk di pungkiri dari penerapan sisitem tersebut akan menjadikan para pelajar merasa tenang dan tidak boleh di paksa untuk tunduk pada suatu kurukulum wajib, atau tunduk pada deskriminasi yang di dasarkan pada apakah mereka memiliki sertivikat atau ijazah.

Ijasah merupakan sebuah legalitas pembeda mana manusia yang berpedidikan (makan sekolah) dan yang sama sekali tidak pernah memakan pendidikan. Sebuah mitos yang menbumi di kalangan rakyat, barang tentu menjadi sebuah nilai sistem komoditi, bahwa sekolahlah yang nantinya mencetak para generasi penerus bangsa yang cerdas dan siap pakai, sedang bagi kalangan yang tidak pernah ngincipi apalagi merasakan sekolah-an adalah neraka bagi mereka-orang yang tidak pernah menikmati enaknya sekolah- harus puas dalam posisi terjepit di antara diskriminasi-sosial kultural dan harus termarjinal dikalangan kalayak umum.

Sudah barang tentu sebuah nilai nilai komoditi akan menggusur nilai fungsi guna dan nilai idiologis, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa sekolah sama sekali tidak menjamin para pelaku sekolah, justru sekolah akan menjadi sebuah ajang melayani masyarakat kapitalis-konsumeristik, ijasah sebagai legitimasinya. Dengan ijasahlah kita dapat mendapatkan sebuah pekerjaaan dan mendapatkan penghargaan sosial, lain lagi bagi kalangan yang sama sekali tidak pernah mengunya h apalagi mencicipi akan menjadi saklarisasi sosial cultural. Stigma tersebut akan selalu mengiri dan muncul di setiap langkah masyararat yang selalu di kucilkan gara-gara tidak pernah mengenyam pendidikan formal.

Karena subtansial dari sekolah adalah sarana formalitas penunjang pendidikan yang di percaya masyarakat memberikan kontribusi dan mencetakk makhluk yang ulul al bab, sebuah pengharapan besar bagi masyarakat dari penggodokan terhadap nanaknya tersebut, selama hampir dua belas tahun anaknya mengenyam pendidikan tentunya si orang tua makin bernafsu ingin melihat apa yang anak dapatkan dari pendidikan formal tersebut.

ENTAHLAH, POESING AKU.
Sekolah di asumsikan sebagai sarana formal pendidikan, yang di agung-agungkan. Dengan pemberlakuan otonomi pendidikan, sekolah-sekolah semakin di kejar target, target yayasan pengelola, targrt kurikulum, dana, mutu kelulusan, standar nilai tertentu dan nama besar lembaga. Namun di balik itu semua, menurut Paulus Murjiran ada beberapa kelemahan yang menyuramkan pendidikan.Pertama, Kegiatan beajar di sekolah-sekolah berlangsung secara kaku dan sentralistik, kurang kontextual, sehingga dapat mempasung daya kreativitas sorang anak didik. Kedua. Pendidikan di jadikan sebagai ajang bisnis untuk mendapatkan uang katimbang mengejar mutu dengan embel-embel subsidi silang. Ketiga, Pola pendidikanorde baru yakni kecenderungan penyeragaman kegiatan-kegiatan persekolahan. seperti UAS (ulangan ahir sekolah) dengan dalih kebersama’an. Mengapa demikian, karena sekolah yang bermutu dan tidak hanya di ukur dengan oleh hasil ujian ahir. Di samping itu kegiatan tersebut (UAS) menjadi lahan subur untuk jual beli soal ujian. Penerapan sistem tersebut (UAS) akan membuat anak didik cenderung ingin mencari nilai tinggi secara instant dengan bimbingan test, sedangkan kualitas intelektualnya amat sangat memperihatikan. Keempat, Guru hanya sebagai tukang mengajar dari pada sebagai pendidik. Seperti halnya dalam kelas guru-guru hanya mengajarkan secara textual / lembar demi lembar dari halaman buku yang telah ditetapkan. Kelima, Kesejahteraan guru yang mandek menyebabkan guru kehilangan gairah dalam mengajar. Keenam, Termarginalisasinya mata pelajaan yang membentuk pribadi seseorang

Kita ketahui bahwasanya sekolah tidak otomatis sama dan sebangun dengan pendidikan; justru menfrustasikan anak didik; mensponsori ‘kemajuan pembangunan’ yang mengagung-agungkan produksi, konsumsi dan laba sebagai dan satu-satunya pendongkrak hidup manusia.