Minggu, Maret 29, 2009

IAIN; Jurang Pedagogy

Oleh: Aries F. As’ad*

Sosok mahasiswa dengan konfigurasi bak seorang intelek, kepalanya dipenuhi rumus-rumus, teori, bahkan dalil-dalil. Kaca mata setebal lima senti menjadi beteng penglihatan matanya, diperkirakan konsekwensi logis tiap hari makan buku.


Tangan terkepal, tak kelewatan terlihat juga otot yang keluar dari tangan. Sambil mulutnya komat-kamit; sekilas anak ini membaca mantera ajian tapak sabda. Keringatnya mulai keluar dan mengalir dari jidat membasahi wajah yang memang tidak terlalu “Mboys”, mungkin berkat kontaminasi panasnya iklim dikelas. Namun setelah penulis berhasil menghampiri mahasiswa tersebut: kata demi kata, bait demi bait, tak lupa kalimat per kalimat mulai terdengar jelas dan tertangkap oleh indera pendengar penulis. Bahwasannya yang keluar dari komat-kamit mulut sang mahasiswa itu ternyata kalimat pisuhan, mulai dari “diancuk” sampai “asu” kesemnuanya saling melengkapi dan mengiringi perjalanannya. Bukan karena motivasi putus cinta atau mlarat mahasiswa tersebut berorasi, lantas karena saking kecewanya pada apa yang telah diperoleh dari dalam ruang kelas.

Ternyata sosok mahasiswa ini memiliki rumusan ideal tentang dunia pendidikan yang diotak-atik dengan berpijak pada pengalaman membaca buku dan keseharian. Baginya. Ruang kelas yang dianggap sebagai kantong pengetahuan, atau banyak orang mengatakan, bahwa kelaslah yang senantiasa dapat membangun manusia lebih bermoral dan berpengetahuan. Idealisasi yang diciptakan senyatanya kontraproduktif dengan kondisi riil lapangan. Malahan sebaliknya. Kelas –dengan asumsi tersebut- justru sejajar dengan jeruji penjarah, tidak lantas berdiametral. Mungkin cukup berasalan mahasiswa tersebut jika kemudian secaran kontan berorasi kotor dengan wajah mirip Cries John manakala melihat lawan setelah keluar dari kelas.

Berangkat dari cuplikan cerita nyata diatas, penulis mengambil kesimpulan: bahwa tak selamanya dunia kelas –pendidikan- menjamin kelak nantinya akan jadi orang yang berguna. Malahan justru pendidikan menjadi ajang politis untuk meraup kepentingan, baik demi penancapan kepentingan ideologi negara maupun kekayaan individu. Pendidikan telah menjadi barang dagangan yang senantiasa mengacu pada kebutuhan konsumen, boleh ditawar dan dimanfaatkan seenaknya pemilik. Daya tawar pendidikan adalah wahana netral dan pembebasan hanya menjadi angan dilangit ketujuh ratus tiga puluh lima. Dalam posisi demikian, selain menjadi barang dagangan, pendidikan juga menjadi kandang macan bagi bangsa, kususnya bagi generasi muda. Kandang macan digambarkan bak sebuah jebakan mematikan, tak pelak generasi bangsa hanya menjadi slilit gigi si macan.

IAIN?
Ternyata mahasiswa diatas adalah salah satu dari sekian ribu penghuni IAIN. Tepatnya difakultas tarbiyah. Kacaunya pelayanan, sistem, kurikulum dan pelaksanaan menambah pembendaharaan kasus tak layaknya dunia pendidikan. Produktifitas mahasiswa dikebiri melalui beberapa prosedur yang amat mendisiplinkan wawasan serta pengetahuan.
Krisis orientasi dan fungsi pendidikan diatas kiranya juga sama persis dengan kondisi krisis almamater kita, yakni IAIN Surabaya. Malahan lebih ektrim, pendidikan IAIN dimaknai sebagai kandang terakhir manakala kandang yang lebih berkualitas tidak dapat menampung, maka kerap kali mahasiswa kampus ini adalah produk gagal seleksi mahasiswa kampus berkualitas. Pendek kata, meskipun IAIN adalah kampus negeri namun posisinya tidak negeri yang berkualitas malahan negeri yang menjadi jalan terakhir.
Selain itu, IAIN adalah institusi pendidikan agama yang kelak dapat memproduksi formulasi Islam. Seluruh gagasan Islam terlebih ditengah kungkungan globalisasi dan neo liberalisasi, mahasiswa IAIN lah yang menanggung jawaban pertanyaan. Ironis, kenyataan dilapanga memang terkadang kontrodiksi dengan angan-angan diotak. Justru mahasiswa IAIN gagap, dan tidak mampu menjawab persoalan sosial religius. Malahan jebakan matrealisme-pragmatik yang selalu menyelimuti mahasiswa dan lulusannya. Padahal, out put inilah yang kelak menjadi parameter keberhasilan dunia pendidikan.
Mungkin beberapa paparan persoalan dunia pendidikan diatas hanya menjadi bagian kecil dari berjuta persoalan. Seyogiayanya patut menjadi bahan evaluasi dalam menapaki masa selanjutnya dan perbaikan dunia pendidikan di kemudian hari. Jadi keluh kesah mahasiswa diatas jangan dijawab dengan emosional, normatif dan moralis. Lebih dari itu, sikap diatas merupakan koreksi sekaligus kritik terhadap dunia pendidikan kita saat ini.

*Mahasiswa pinggiran yang tak sepakat dengan rumusan “mahasiswa sebagai agent of change”, sekarang lagi mencoba melakukan gugatan struktur sosial-spiritual.