Minggu, Maret 29, 2009

Perempuan dan Gaun Seksi

Dwasa ini sering kali muncul anggapan bahwa emansipasi perempuan sudah mencapai titik klimaks, sehingga mempersoalkan gender dianggap sebagai wacana yang mengada-ada dan terkesan hanya ingin merusak tatanan yang sudah mapan. Asumsinya, tatkala perempuan sudah bisa menjadi pahlawan (kartini, dewi sartika, dll), dokter, insinyur, bahkan presiden. Maka, tak ada lagi yang perlu dipersoalkan dengan yang namanya “emansipasi”.

Padahal jika kita telisik lebih jauh, bahkan di tempat yang paling dekat dengan kita (rumah tangga atau domestik) berbagai bentuk ketimpangan gender masih terlihat dengan jelas, demikian pula di wilayah publik ada setumpuk ketimpangan yang mengarah pada diskriminasi perempuan. Mansour Fakih membagi manifestasi ketimpangan gender dalam marginalisasi atau pemiskinan perempuan, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban ganda. Sesungguhnya ketimpangan gender tidak senantiasa merugikan kaum perempuan saja. Bahkan juga kaum laki-laki ikut menderita karena ketimpangan gender, misalkan, laki-laki yang tidak mampu menjadi penopang ekonomi keluarga, kemudian dicap telah gagal menjadi laki-laki; laki-laki yang tidak terbiasa berpartisipasi atau sharing tugas-tugas rumah tangga menjadi hopeless ketika isterinya harus pergi walau sejenak; laki-laki stres menahan sekuat tenaga untuk tidak mengangis/mengekspresikan emosinya karena takut dicap ‘perempuan’. Namun memang pada kenyataannya kaum perempuan lebih banyak mengalami kerugian atau penindasan dalam struktur budaya patrarki ini.

Hampir setiap hari kita membaca berita perkosaan terhadap perempuan. Bahkan beberapa media di Indonesia juga ada yang menganggap berita pemerkosaan bukan lagi merupakan berita yang dianggap ‘news’. Malahan senantiasa jarang diberitakan karena terlalu biasa. Sayangnya pada saat yang sama masyarakat juga cenderung menyalahkan perempuan selaku korban pemerkosaan, misalnya karena memakai rok mini, keluar malam, berada di tempat sepi, suka sama suka (tungtit-tungtitan).

Banyak juga symbol-symbol pelecehan seksual, baik berupa siulan, colekan maupun omong jorok. hampir terjadi setiap hari di tempat umum. Di media massa pelecehan seksual semakin marak: perempuan atau lebih spesifik lagi tubuhnya dijadikan aksesoris atau alat jaja media, tidak hanya di tabloid atau koran biru tapi juga di media elektronik yang menjadi tontonan setiap hari. Iklan-iklan dan film-film erotis juga telah melecehkan perempuan secara signifikan. Sayangnya, perangkat hukum tidak berperan untuk membantu perempuan dalam persoalan ini.

Dengan melihat kondisi demikian, kiranya perempuan selalu di posisikan marginal dan menjadi pemuas nafsu belaka. Nggak percaya, coba lihat diberbagai dunia entertaiment dan konstruk budaya yang terbangun selama ini. Berangkat dari kondisi yang demikian, muncul beberapa pertanyaan yang selalu menggelitik otak penulis. Apakah kondisi demikian adalah takdir Tuhan yang tidak bisa dirubah...? Rasanya tidak. Dan lantas, apakah kita diam lantaran melihat kondisi perempuan yang cenderung diam dan acuh terhadap dominasi patriakhi (penindasan). Kalau kita diam, berarti kita meng-iyakan terhadap penindasan perempuan.