Minggu, Maret 29, 2009

Penindas Itu Ternyata Kaum Adam

Wacana gender memang menjadi perdebatan. Perdebatan tersebut dimulai dari sikap pesimisme sampai sangsi terhadap otentifikasi sumber wacana gender. Adakala kalangan yang meragukan keberhasilan wacana tersebut, malahan ada yang sangsi terhadap wacana kesetaraan. Akibatnya, sejarah peradaban manusia selalu didominasi oleh laki-laki dan perempuan posisinya marginal.

Disinilah pertarungan dimulai, dimana perempuan selalu dalam posisi subordinat, marginal bahkan ditindas sedang melakukan lawatan perlawanan terhadap dominasi laki-laki. Sejujurnya, kita harus menghargai idealisasi tersebut yang senantiasa melakukan gugatan bahkan membongkar nalar patriarkis. Yakni nalar ke-laki-laki-an yang dominatif dan hegemonik, dengan rumusan: setiap kemenangan, baik diranah sosial, budaya maupun politik yang berhak adalah laki-laki.

Debat perempuan dan laki-laki diatas kelak pada gilirannya melahirkan posisi diametral, saling kontradiktif dan tak pernah dapat disejajarkan. Pembagian domain antara laki-laki dan perempuan senyatanya memberi efek negatif terhadap perkembangan sejarah dan peradaban manusia. Karena itu disebabkan oleh, dengan bermodal nalar patriarkhi, pertarungan tersebut selalu didominasi kaum adam sedangkan perempuan terpaksa menelan kekalahan terus menerus. Kelak posisi perempuan selalu tertindas dan termarginalkan. Inilah ironi peradaban manusia, peradaban yang selalu didominasi oleh satu jenis, yakni jenis kelamin laki-laki. Padahal dalam telaah Islam, manusia dihadapan sang khaliq adalah sama dan yang menbedakan adalah taqwanya. Jadi anatara laki-laki dan perempuan tidak ada pembedaan yang istemewa.

Motivasi perempuan dalam perang melawan dominasi laki-laki memang harus kita apresiasi secara positive, terlebih demi pengangkatan harkan dan martabat kemanusiaanya. Maka sikap apresiatif inilah meniscayakan pengakuan akan eksistensi perempuan dalam pergulatan sejarah dan peradaban.


Bagaimanakah peran perempuan?

Harus diakui, fakultas Tarbiyah memiliki entitas mahasiswa yang terbanyak apabila dibandingkan dengan fakultas lain di lingkungan IAIN. Maka ada semacam pengakuan sosiologis, kuantitas yang demikian banyak pastilah ditopang dengan kualitas yang tak terbantahkan. Mulai dari kualitas gerakan, sampai kualitas akademik fakultas tarbiyah adalah jagonya. Anehnya, fakultas ini tidak malah menjadi poros angan diatas, justru kebobrokan berawal dari fakultas yang concern dibidang pendidikan ini. Sejak itulah gerakan mahasiswa mengalami kemandulan bahkan tidak memiliki daya tawar. Tidak ada dinamika, yang ada hanya dominatif-hegemonik dalam artian kebenaran tunggal.

Kebekuan –kebuntuhan- gerakan mahasiswa disebabkan oleh: Pertama. mahasiswa tak lagi punya daya dalam membaca patahan sejarah politik, kalaupun ada itu cuma sektoral. Padahal pembacaan situasi politik kita ada keterkaitan dengan konstelasi politik internasional. Kedua, penyikapan dengan metode klasik yang sebenarnya tidak relevan lagi. Misalnya, demo dipinggiran jalan. Ditengah frustasi masyarakat karena krisis multidimensi, penilaian publik terhadap gerakan mahasiswa cenderung parsial. Artinya, gerakan mahasiswa –turun jalan- merupakan tindakan yang bermuara pada anarki dan tidak memberikan solusi. Kalau demikian, lantas bagaimana mungkin gerakan dengan metode klasik tersebut mendapak dukungan dari masyarakat luas. Ketiga, fustasi publik. Ada postulat menggelitik, bahwa gerakan mahasiswa sekarang adalah langkah pertama menata jenjang struktural. Maka tak heran, masyarakat senantiasa acuh bahkan menganggap gerakan tersebut bagaikan angin lewat. Ketiga, ketimpangan gender. Misalnya, eklusifme kalangan aktifis laki-laki dalam mencari format gerakan selalu saja tidak mengikutkan kehadiran kalangan perempuan. Jadi langkah yang diambil sama sekali tidak akomodatif.

Lantas kejumudan sama persis dengan setting sosiologis GERMA Fakultas Tarbiyah. Performa gerakan bertambah hari bertambah mandul, -bahkan mengakibatkan kangker- sama halnya tidak ada effeks politis maupun akademis. Harus diakui, kondisi wajah gerakan demikian salah satu yang mengakibatkan tidak terakomodasinya suara perempuan dalam pertarungan. Pendek kata, ini merupakan penindasan dan marginalilasasi secara sistemik. Mulai jalur akademik sampai lintasan politik dikuasai oleh laki-laki yang memang tak lagi progress dan tumpul.

Padahal, dari sekian mahasiswa Tarbiyah didominasi oleh kaum hawa alias perempuan. Siapa yang tidak tahu, panorama mahasiswa tarbiyah memang dipadati oleh kalangan perempuan namun dalam segala pertarungan selalu di menangkan oleh laki-laki. Sekilas, kemampuan dan potensi perempuan tidak jauh berbeda dengan laki-laki, baik diranah sosiol maupun politik sama posisi dan perannya.

Apa yang harus dilakukan?

Potret penindasan sistemik yang telah dilakukan oleh kaum laki-laki memang tidak dapat dibiarkan begitu saja, harus ada langkah alternatif-solutif dalam mengkikis paradigma diatas. Minimal ada pelacakan historitas nalar patriakis dalam pandangan laki-laki. Selanjutnya harus ada langkah praktik-kongkrit mengatasi penindasan sistemik diatas.

Kebutuhan atas langkah strategis membutuhkan proses panjang dalam membongkar –mendekontruksi- paradigma patriarki, mulai dari ijtihad discourse sampai ijtihad politik. Dalam arti, melakukan penebaran wacana tentang kesetaraan –gender discourse- di seluruh cela-cela momentum, baik secara kultural, normatif dan kalaupun memungkinkan akademik. Sedangkan melakukan ijtihad politis, sebab, kerangka struktural dengan menitik beratkan pada political will sangan memberi kontribusi besar terlebih manakala memiliki jejaring power.

Pencapaian posisi strategis inilah akan melunakkan dominasi patriarki, yakni melalui tahap modus operandi wacana gender –kesetaraan- dan tahap political practic. Sebuah langkah –ikhtiar- menebar benih kesetaraan sembari memperbaiki khasanah sejarah dan peradaban manusia –mahasiswa.