Sabtu, Maret 28, 2009

Rekonstruksi Kerangka Berfikir Islam Dalam Kancah Kehidupan Modern

Latar belakang
Terjadinya perkembangan pemikiran yang ada di Barat, baik dari pandangan psikologi, teori evolusi, dan munculnya ide-ide baru tentang Tuhan, seakan-akan menjadi pergeseran pula bagi kedudukan Tuhan sebenarnya. Dimana efek yang ditimbulkan tersebut sangat berimplikasi terhadap agama, salah satunya adalah agama Islam. Perkembangan di Barat yang merupakan perwujudan modernisasi itupun menjalar dan merambah ke wilayah orang Islam. Lalu sekarang bagaimana orang-orang Islam menyikapi modernisasi ini tanpa harus kehilangan keimanannya kepada agama, terlebih Tuhan-nya.

Agama sebagai spirit proses modernisasi
Islam berkembang karena adanya kontak dengan peradaban lain, dan mereka percaya bahwa agama penting bagi pembaruan masyarakat yang lebih mendalam dan langgeng.Tak sedikit yang perlu diubah; banyak yang melihat ke belakang ; takhayul dan kebodohan merajalela. Namun, Islam juga telah membantu orang untuk menumbuhkan pemahaman yang serius: seandainya Islam dibiarkan sakit, kondisi spiritual umat Muslim seluruh dunia juga akan memburuk. Kaum pembaru tidak memusuhi Barat. Banyak yang merasa tidak asing dengan cita-cita Barat dalam hal persamaan, kebebasan, dan persaudaraan, sebab Islam juga memiliki nilai-nilai Yudeo-Kristen yang telah memberi pengaruh besar di Eropa dan Amerika Serikat.

Pengalaman tentang Tuhan tidak dipandang sebagai penghalang, melainkan sebagai kekuatan pengubah yang akan mempercepat transisi ke arah modernitas.Pembaru Al-Din Al-Afghani (1838-87), misalnya, adalah seorang yang menguasai mitisisme Isyraqi sekaligus penganjur modernisasi yang bersemangat. Menurut Al-Afghani, agama memang penting, tetapi pembaruan tetap diperlukan. Al-Afghani adalah seorang teis yang penuh keyakinan, bahkan sangat bersemangat, namun dalam karyanya satu-satunya, Bantahan terhadap Kaum Materialis (Ibthal Madzhab Al-Dahriyyun wa Bayan Mafasidihim), dia sedikit sekali berbicara tentang Tuhan. Karena dia tahu bahwa Barat menghargai akal dan menganggap Islam dan Orang Timur tidak rasional, Al-Afghani berupaya menjelaskan Islam sebagai sebuah kepercayaan yang dicirikan oleh penghargaannya terhadap akal. Sebenarnya, bahka kalangan rasionalis semacam Mu‘tazilah pun akan merasa aneh dengan deskripsi semacam ini tentang agama mereka. Al-Afghani lebih merupakan seorang aktivis daripada seorang filosof.

Muhammad Abduh (1849-1905), murid Al-Afghani dari Mesir, memiliki pendekatan yang berbeda. Dia memutuskan untuk memusatkan aktivitasnya di Mesir saja dan berfokus pada pendidikan intelektual kaum Muslim di sana. Dia dibesarkan di lingkungan Islam tradisional di bawah bimbingan sufi Syaikh Darwis, yang mengajarkan kepadanya bahwa sains dan filsafat merupakan dua jalan yang paling aman menuju pengetahuantentang Tuhan. Akibatnya ketika Abduh mulai belajar di Masjid Al-Azhar yang pretisius di Kairo, dia dikecewakan oleh silabusnya yang ketinggalan zaman.Akan tetapi, dia tertarik pada Al-Afghani, yang membimbingnya dalam logika, teologi, astronomi, fisika, dan mitisisme.

Semangat Abduh terbakar oleh kontaknya dengan kebudayaan Barat. Dia secara khusus dipengaruhi oleh Comte, Tolstoy, dan Herbert Spencer, yang menjadi teman akrabnya. Dia tidak pernah mengadopsi gaya hidup barat sepenuhnya, tetapi senang berkunjung ke Eropa secara teratur untuk menyegarkan dirinya secara intelektual. Ini tidak berarti bahwa dia meninggalkan Islam. Sebaliknya, sebagaimana setiap pembaru, Abduh ingin kembali kepada akar keimanannya. Oleh karena itu, dia menyerukan kembali kepada essensi ajaran Nabi dan empat khalifah pertama. Namun ini tidak ada sangkut-pautnya dengan penolakan modernitas oleh kaum fundamentalis. Abduh berpendapat bahwa umat Islam harus mempelajari sains, teknologi, dan filsafat sekular agar dapat berperan dalam dunia medern. Fiqih harus direformasi agar memungkinkan umat Islam meraih kebebasan intelektual yang mereka butuhkan. Seperti halnya Al-Afghani, dia juga berusaha menampilkan Islam sebagai agama rasional, dengan menyatakan bahwa di dalam Al-quran, akal dan agama saling bergandengan tangan untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia.Sebelum risalah kenabian Muhammad, wahyu disampaikan melalui mu‘jizat, legenda, dan retorika irrasional, namun Al-quran tidak pernah menggunakan metode-metode yang lebih primitif ini. Al-Quran “mengajukan bukti dan argumentasi, menjelaskan pandangan kaum kafir dan mengecam mereka secara rasional.” Serangan yang dilancarkan Al-Ghazali terhadap para filosof, menurut Abduh, merupakan sikap yang tidak moderat. Hal itu menyebabkan terjadinya pembelahan antara kesalehan dan rasionalisme, yang kemudian berpengaruh terhadap kedudukan intelektual ulama. Ini tercermin pada kurikulum usang Al-Azhar. Oleh karena itu, kaum Muslim harus kembali kepada spirit Al-Quran yang lebih terbuka dan rasional. Namun, Abduh menghindar dari rasionalisme yang terlalu reduksionis. Dia mengutip hadist : “Berpikirlah tentang makhluk Allah dan jangan berpikir tentang hakekatnya karena kalian akan binasa.” Akal tidak dapat menjangkau esensi wujud Tuhan yang senantiasa diliputi misteri. Yang dapat kita pastikan hanyalah bahwa Tuhan tidak menyerupai wujud mana pun. Semua persoalan yang diperdebatkan oleh para teolog tidak berdasar dan dinyatakan oleh Al-Quran sebagai Zhanna (prasangka).

Tokoh pembaru terkemuka di India adalah Sir Muhammad Iqbal (1877-1938) yang di kalangan umat Islam memiliki kedudukan yang setara dengan Ghandi bagi umat Hindu. Dari filosof Barat semacam Nietzsche, Iqbal menyerap arti penting individualisme. Seluruh alam, menurut Iqbal, mewakili yang Mutlak yang merupakan bentuk tertinggi individuasi dan yang oleh manusia disebut “Tuhan”. Untuk mewujudkan keunikan mereka, semua manusia harus menjadi semakin menyerupai Tuhan. Ini berarti setiap manusia harus menjadi lebih individual, lebih kreatif, dan mesti mengungkapkan kreativitas ini dalam perbuatan. Sikap pasif dan rasa puas diri (yang menurut Iqbal disebabkan oleh budaya Persia) kaum Muslim India harus dihilangkan. Prinsip ijtihad Islam harus mendorong mereka untuk bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan baru: Al-Quran sendiri menuntut pembaruan dan perbaikan diri terus-menerus. Sebagaimana Al-Afghani Dan Abduh, Iqbal mencoba memperlihatkan bahwa perilaku empirik, yang merupakan kunci kemajuan, berasal dari Islam dan menyeberang ke Barat melalui sains dan matematika kaum Muslim Abad pertengahan. Sebelum kedatangan agama-agama besar dunia selama Zaman Kapak, kemajuan manusia tdak berarah, amat tergantung kepada individu-individu yang berbakat dan inspiratif. Kenabian Muhammad merupakan puncak upaya intuitif ini dan membuat tak diperlukannya lagi wahyu baru. Sejak saat itu, manusia bisa bersandar pada akal dan sains.